Teknik pemeriksanaan penyakit patogen pada udang vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan metode preparat ulas basah dan metode histopatologi di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAP) Jepara Jawa Tengah

Collection Location Politeknik Kelautan dan Perikanan Sidoarjo
Edition
Call Number
ISBN/ISSN
Author(s) Aulia Ulfatul Balqis
Subject(s) KIPA
Local Content
Prodi TPPI
Udang Vannamei
Classification 0369/IX/2019/K
Series Title
GMD CD-ROM
Language Indonesia
Publisher Politeknik Kelautan dan Perikanan Sidoarjo
Publishing Year 2019
Publishing Place Sidoarjo
Collation
Abstract/Notes Udang Vannamei adalah salah satu jenis udang unggul yang kini mulai dibudidayakan di tambak. Kini beberapa daerah di Indonesia mulai membudidayakan udang vannamei (Kordi, 2007). Namun munculnya serangan penyakit pada udang vannamei sering terjadi, dan disebabkan oleh 3 faktor yaitu kondisi udang vannamei yang kurang baik, lingkungan yang kurang mendukung, dan adanya patogen atau hewan lain pembawa penyakit. Ketiga faktor tersebut mempunyai hubungan yang erat sekali sebab bila terjadi ketidakseimbangan maka serangan penyakit pasti akan datang (Haliman dan Adijaya, 2005). Penyakit patogen yang menyerang udang vannamei adalah parasit, bakteri, dan virus dimana ketiganya membutuhkan jaringan hidup untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, parasit, bakteri, dan virus akan menyerang jaringan udang vannamei, berkembang biak dalam tubuh dan/atau sel udang sehingga menimbulkan kerusakan atau penyakit.
Salah satu metode yang dipilih untuk pengamatan terhadap parameter biologis adalah melalui pengamatan histopatologi. Histopatologi jaringan bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya mikroorganisme yang bersifat patogen dalam jaringan udang, seperti adanya perubahan sel pada jaringan udang jika terinfeksi virus, adanya bekas koloni bakteri yang terlihat pada jaringan organ, dan adanya parasit (Suntoro, 1983).
Maksud dari dilaksanakannya Kerja Praktek Akhir (KPA) ini adalah untuk mengikuti segala kegiatan teknis serta ingin memperoleh pengalaman dan keterampilan dalam kegiatan teknik pemeriksaan penyakit patogen pada udang vannamei dengan metode histopatologi di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Provinsi Jawa Tengah.
Tujuan dari dilaksanakannya Kerja Praktek Akhir (KPA) ini adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang tahapan teknik pemeriksaan penyakit patogen baik parasit, bakteri, maupun virus pada udang vannamei dengan menggunakan metode histopatologi mulai dari tahapan diagnosa gejala klinis, cara pemeriksaan sampai dengan pendapatan hasil identifikasi di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Provinsi Jawa Tengah.
Waktu pelaksanaan Kerja Praktek Akhir (KPA) ini akan dilaksanakan mulai tanggal 4 Maret sampai dengan 24 Mei 2019 di BBPBAP Jepara. Metode yang digunakan adalah metode survey dan metode magang. Data yang akan diambil berupa data primer dan data sekunder (Nazir 2005) dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, kuisioner dan wawancara (Narbuko dan Achmadi 2005). Data yang diperoleh diolah melalui editing dan tabulating (Narbuko dan Achmadi 2005).
Pada tahapan diagnosa penyakit patogen parasit berbeda dengan tahapan diagnosa penyakit patogen bakteri dan virus yang menggunakan metode histopatologi. Tahapan diagnosa penyakit parasit sama seperti pemeriksaan penyakit parasit pada umumnya yaitu jika sampel kecil atau berupa larva, maka pemeriksaan parasite dilakukan di seluruh tubuh udang dengan pengamatan di bawah mikroskop. Sedangkan pada udang dewasa, pengamatan parasit dilakukan dengan mengambil lendir dari setiap bagian tubuh udang, dan pada insangnya, yang kemudian diamati di bawah mikroskop. Tahapan diagnose penyakit bakteri dan virus dengan metode histopatologi adalah fiksasi, nekropsi/ seleksi organ, Tissue processing (dehidrasi, clearing, infiltrasi), embedding/ blocking, sectioning/ pemotongan, staining/ pewarnaan, penempelan entelan, dan analisa/ pembacaan hasil di bawah mikroskop.
Dalam tahapan diagnosa gejala klinis tidak dapat dilakukan karena semua sampel histopatologi yang datang merupakan sampel yang sudah terfiksasi.
Hasil pemeriksaan parasit, dari 275 ekor sampel udang vannamei yang terinfeksi parasit Vorticella sp. sebanyak 47 ekor, yang terinfeksi parasit Ephistylis sp. sebanyak 27 ekor, dan yang terinfeksi parasit Zootamnium sp. sebanyak 18 ekor. Hasil pemeriksaan histopatologi, dari 27 sampel yang diperiksa 6 terinfeksi bakteri Vibrio sp., 9 terinfeksi virus WSSV, 11 Terinfeksi virus EHP, dan 11 yang autolysis.
Parasit Vorticella sp. menempel pada substrat dengan bentuk tubuh berbentuk seperti lonceng terbalik, dengan Tangkai berbentuk pipih dan silindris.
Parasit Epistylis sp. hidup dalam bentuk koloni bertangkai, bentuk tubuhnya seperti lonceng terbalik sama seperti Vorticella sp. namun lebih panjang dan ramping. Mempunyai cilia pada membrannya.
Parasit Zoota,nium sp. berbentuk seperti kerucut hampir membulat, memiliki tangkai yang bersilia, dan dalam Zooidnya seperti terdapat tapal kuda.
Penampakan di mikroskop dari terinfeksinya jaringan udang dari bakteri Vibrio adalah jaringan tersebut tampak nekrosis karena adanya tumpukan/ kumpulan koloni bakteri Vibrio sp. yang menyebabkan kehancuran dari sel jaringan yang terinfeksi.
Histologi udang yang terinfeksi WSSV yaitu adanya pembesaran atau pembengkakan pada inti sel pada jaringan eksodermal dan mesodermal atau pada organ-organ target virus WSSV, inti sel mengalami inklusi sel yang berwarna keunguan/ basofilik.
Histologi udang yang terinfeksi EHP yaitu adanya sel yang diameternya lebih besar 2 sampai 3 kali lipat tetapi tidak tampak adanya perbedaan antara sitoplasma dan inti sel serta adanya rongga disekelilingnya. Dimana sel tersebut telah hancur dan digantikan oleh spora-spora kecil yang terus berkembang biak dengan membelah hingga berkumpul menjadi satu dalam lingkaran rongga tersebut. Jika telah memasuki tahap stadium atau fase akhir, dimana spora memadat dan matang hingga rongga tersebut akan terbuka melebur, spora akan keluar dan ikut melebur hingga memasuki sistem pencernaan, dan akan dapat menyebabkan penyakit serius selanjutnya yaitu WFS (White Faeces Syndrome) atau lebih dikenal dengan sebutan penyakit berak putih.
Dari hasil pengamatan juga ditemukan adanya autolysis. Dalam ilmu histopatologi autolysis merupakan proses penghancuran sel yang dilakukan oleh enzim-enzim dari dalam sel itu sendiri yang berujung pada kematian sel (Sandykyen, 2010). Dari literatur tersebut dinyatakan bahwa karena adanya autolysis ini jaringan dan sel-sel menjadi hancur, sehingga tidak dapat dilanjutkan pada pengamatan.
Berdasarkan pelaksanaan Kerja Praktek Akhir (KPA) di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah ini dapat disarankan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan histopatolgi sebaiknya disertai dengan pengetahuan tentang gambaran histologi normal jaringan dan gambaran tentang perubahan jaringan pada hewan yang sakit.
2. Akan lebih baik lagi jika sampel yang datang dalam keadaan segar (masih hidup), atau belum mati dan belum terfiksasi, agar dapat mengetahui gejala klinis udang tersebut, sehingga kita dapat menarik kesimpulan tidak hanya dari hasil pengamatan saja. Dan manfaat yang lain adalah kita dapat mengerjakan sampel tersebut dari awal yaitu tahap fiksasi, sehingga dapat dipertanggung jawabkan dengan baik prosesnya, dan akan mengurangi hasil yang autolysis.
3. Pembuatan preparat untuk uji histopatologi semua tahapannya harus dilakukan dengan penuh ketelitian dan kesabaran, karena hal yang dihadapi yaitu sebuah lembaran jaringan yang sangat tipis, maka jika terjadi kesalahan pada tahapan-tahapan pembuatan preparat jaringan akan rusak dan sangat sulit untuk dianalisa.
Specific Detail Info
Image
  Back To Previous