Text
Penilaian Risiko Logam Berat (Semikuantitatif) dan Penyakit Ikan Karantina Pada Ikan Salmon (Impor)
Salmon adalah jenis ikan yang tidak dimiliki Indonesia, namun sangat diminati oleh konsumen. Sejak tahun 2014 hingga tahun 2020 permintaan salmon terus meningkat, karena salmon banyak memiliki keunggulan. Mayoritas ikan salmon didatangkan dari negara Chili dan Norwegia, namun disisi lain terdapat potensi cemaran logam berat (Hg, Pb, Cd) pada negara asal. Kontaminasi logam berat pada ikan salmon masuk dalam kategori bahaya kimia keamanan pangan (food safety), dan dapat berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Ikan salmon juga merupakan inang rentan (susceptible species) penyakit Viral Haemorrhagic Septicaemia (VHS) Penyakit ini dapat mengancam ketahanan pangan (food security), karena penyakit ini bersifat akut. Penelitian mengenai kandungan logam berat pada ikan salmon sudah dilakukan sebelumnya, namun upaya pengendalian melalui penilaian risiko logam berat, dan kategorisasi tingkat risiko penyakit ikan karantina VHS pada ikan salmon belum dilakukan. Penelitian ini bertujuan menentukan kandungan logam berat pada ikan salmon, menentukan penilaian risiko logam berat pada ikan salmon dan menentukan kategorisasi tingkat risiko penyakit ikan karantina VHS pada ikan salmon.
Penelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu pengambilan sampel dan pengumpulan data. Analisis kandungan logam berat menggunakan instrumen Inductively Coupled Plasma Mass Spectrometry (ICP-MS) dan analisis Viral Haemorrhagic Septicaemia menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) konvensional. Penilaian risiko semikuantitatif logam berat (melalui tahap identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, penilaian paparan, dan karakterisasi risiko) pada ikan salmon mengacu pada United State Environmental Protection Agency (USEPA) dan risk ranger. Penilaian risiko penyakit ikan VHS pada ikan salmon mengacu pada Keputusan Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan nomor 78/Kep-BKIPM/2018.
Ikan salmon diimpor dari empat negara asal (Chili, China, Jepang, Norwegia) dan terdapat empat macam spesies salmon yang berbeda. Rata-rata kandungan Jogam berat pada seluruh ikan salmon adalah merkuri (Hg) 0,0646 0,0056 ppm, timbal (Pb) 0,05050,0446 ppm, dan kadmium (Cd) 0,0119+0,0006 ppm, hasil ini di bawah ambang batas yang dipersyaratkan oleh BPOM-RI. Hasil penilaian risiko untuk Hg, Pb, dan Cd adalah 0,0567: 0,0013; dan 0,0010 (kurang dari 1) yang menyiratkan bahwa konsumsi ikan salmon tidak memiliki potensi risiko bahaya. Risk ranger menunjukkan bahwa estimasi peringkat risiko logam berat berada pada kategori sedang dengan risk rangking 46, 37, 36 (Hg, Pb, Cd). Hasil analisis penyakit ikan VHS pada ikan salmon selama pengamatan tidak ditemukan (terdeteksi) positif VHS. Hasil penilaian risiko VHS pada ikan atlantik salmon asal Chili berada pada kategori tingkat risiko sedang dengan nilai total 60,1 dari 100.
18. DINAMIKA DAN DETERMINAN NILAI TUKAR NELAYAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF SPESIAL
Potensi sumber daya alam dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang tinggi di subsektor perikanan tangkap diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Salah satu pendekatan dalam mengukur kesejahteraan nelayan adalah Nilai Tukar Nelayan (NTN). Pendekatan penghitungan NTN publikasi BPS lebih pada mengukur daya beli nelayan sehingga perlu dilakukan reformulasi perhitungan NTN yang dikoreksi dengan pertumbuhan produksi dan tenaga kerja agar lebih menggambarkan kesejahteraan nelayan. NTN provinsi hasil reformulasi tahun 2015-2019 menunjukkan adanya ketimpangan antar provinsi dan efek spasial. Pemerintah pusat telah membuat kebijakan berupa bantuan pemerintah untuk meningkatkan produksi dan NTN guna mengurangi ketimpangan NTN.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) pola dan dependensi spasial NTN di Indonesia, (2) kebijakan pemerintah dalam mendukung peningkatan NTN di Indonesia. (3) determinan NTN level nasional. level provinsi dan konvergensi NTN di Indonesia (4) menentukan reformulasi NTN yang dapat memproksi kesejahteraan nelayan. Metode yang digunakan untuk menganalisis pola dan dependensi spasial NTN adalah Indeks Moran Global, Local Indicator of Spatial Autocorrelation (LISA) dan diagram pencar moran. Kebijakan pemerintah terhadap NTN dianalisis dengan pendekatan kuadran antara bantuan pemerintah dengan NTN provinsi, sementara itu determinan NTN nasional dan konvergensi NTN dianalisis dengan regresi data panel spasial dinamis. Metode untuk menganalisis determinan NTN provinsi adalah dengan metode Geographically Weighted Panel Regression (GWPR) yang menghasilkan model lokal dan mengatasi heterogenitas spasial. Data yang digunakan merupakan data panel yang mencakup 33 provinsi tahun 2015 hingga 2019.
Hasil analisis menunjukkan terdapat dependensi spasial NTN dengan pola mengelompok yang ditunjukkan dengan Indeks Moran yang signifikan positif. Diagram pencar moran menunjukkan provinsi yang berada di kuadran III (provinsi dengan NTN rendah di kelilingi oleh provinsi dengan NTN rendah) menjadi fokus pemerintah dalam mengambil kebijakan. Implikasi hasil temuan pada penelitian ini adalah perlunya evaluasi terkait kebijakan pemberian bantuan pemerintah terhadap provinsi yang berada di kuadran III (provinsi dengan BP rendah dan NTN rendah) dan kuadran IV (provinsi dengan BP tinggi dan NTN rendah).
Dependensi spasial NTN memengerahui NTN secara signifikan. Determinan NTN pada level nasional dengan memperhatikan dependen spasial dan pengaruh NTN tahun sebelumnya pada jangka pendek maupun jangka panjang yaitu IHK, nilai produksi perikanan tangkap, bantuan pemerintah dan jumlah tenaga kerja subsektor perikanan tangkap.
Heterogenitas spasial menyebabkan perbedaan determinan NTN antar provinsi. Nilai produksi perikanan tangkap, jumlah tenaga kerja subsektor perikanan tangkap, dan bantuan pemerintah merupakan determinan NTN di semua provinsi. IKRT menjadi determinan NTN di 17 provinsi. IHK menjadi determinan NTN di lima provinsi. Ekspor perikanan tangkap menjadi determinan NTN di dua provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kepulauan Riau. Tingkat konsumsi ikan menjadi determinan NTN di lima provinsi. Upah nelayan buruh menjadi determinan NTN di 17 provinsi. Persentase jumlah kapal perikanan tangkap bermotor merupakan determinan di tiga provinsi yaitu Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Jawa Timur. Terjadi konvergensi NTN provinsi dengan tingkat kecepatan yang relatif tinggi sebesar 152 persen per tahun atau 12.67 persen per bulan dengan asumsi tidak terdapat guncangan dari luar yang berarti. Waktu yang diperlukan untuk menutup setengah ketimpangan (half time convergence) NTN yaitu 0,46 tahun atau 5 hingga 6 bulan.
Penelitian ini menghasilkan perhitungan NTN Reformulasi dengan menghitung rata-rata geometri dari hasil kali antara NTN publikasi BPS dengan pertumbuhan produksi perikanan tangkap menggunakan IPPT dan pertumbuhan tenaga kerja subsektor perikanan tangkap menggunakan ITK. Hasil perhitungan NTN reformulasi dapat digunakan sebagai salah satu proksi kesejahteraan nelayan.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa rekomendasi. Pertama, perlunya kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah sehingga mekanisme dan pelaksanaan bantuan pemerintah dapat tersalurkan dengan baik. Kedua. memaksimalkan fungsi pengendalian dari Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap inflasi barang konsumsi di perdesaan. Rekomendasi ini juga dapat meningkatkan upah riil nelayan buruh walaupun peningkatan upah nominal nelayan buruh relatif lebih kecil dibandingkan dengan upah nominal nelayan buruh di sektor lainnya. Ketiga, menjaga biaya transportasi dengan cara tetap memberlakukan BBM bersubsidi untuk nelayan kecil. Keempat, meningkatkan persentase jumlah kapal perikanan tangkap bermotor sehingga dapat meningkatkan produksi dan produktivitas per kapalnya.
Kelima, meningkatkan konsumsi ikan dengan cara melakukan sosialisasi lebih gencar terhadap gerakan Gemar Memasyarakatkan Makan Ikan (GEMARIKAN) terutama ikan basah sehingga peningkatan konsumsi ikan yang memang benar berasal dari ikan hasil tangkapan. Keenam, meningkatkan ekspor perikanan tangkap dengan cara mendorong setiap provinsi dengan meluncurkan program-program yang dapat mendukung akses ke pasar luar negeri.
Ketujuh, menjaga inflasi sub kelompok ikan dengan cara menjaga stabilitas harga ikan pada level nelayan. Kebijakan yang dapat dilakukan yaitu dengan penguatan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN), mempercepat implementasi Sistem Resi Gudang (SRG) produk perikanan, meningkatkan infrastruktur yang mendukung pembangunan cold storage terutama ketersediaan listrik. Pemerintah pusat melalui BUMN perikanan yaitu PT Perikanan Indonesia harus memperluas cakupan wilayah bisnisnya dan meningkatkan perannya sebagai Badan Urusan Logistik (Bulog) perikanan dengan melakukan kebijakan ceiling price dan floor price.
B23000142 | TES 639.3.09 NIN p | Archivelago Indonesia Marine Library - Perpustakaan Kementerian Kelautan dan Perikanan | Available |
B23000140 | TES 639.3.09 NIN p | Archivelago Indonesia Marine Library - Perpustakaan Kementerian Kelautan dan Perikanan | Available |
B23000141 | TES 639.3.09 NIN p | Archivelago Indonesia Marine Library - Perpustakaan Kementerian Kelautan dan Perikanan | Available |
No other version available